Sabtu, 21 Mei 2011

Cerme: Menyusur Gua, Menyelami Tradisi, dan Agama

Memasuki Jalan Parangtritis Yogyakarta, mendung menggelanyut. Semakin ke arah Timur, semakin terasa saja hawa hujan. Lembab. Hembusan angin gunung. Tinggal menunggu saja waktunya. Tapi, motor tetap saya pacu menuju Dusun Srunggo. Di sanalah tempat Gua Cerme berada.

Benar saja, tidak lama melewati gardu selamat datang memasuki kawasan Gua Cerme, hujan turun menderu. Semakin ke atas, hantaman air dari langit semakin terasa. Saya pun tak kalah kencang memaju kendaraan sambil berharap hujan reda. Alhasih, setelah sempat kesasar saya bersama adik dan pacar sampai juga ke tujuan. Tentu dengan pakaian basah.

Kemilau dalam Kegelapan

Gua Cerme terletak di Pegunungaan Sewu, yang merupakan kawasan karst.

Secara administratif, gua ini terletak di Dusun Srunggo, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Uniknya, pada pertengahan badan gua menjadi batas administratif Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul.

Untuk bisa masuk ke kawasan wisata ini kami harus membayar retribusi Rp. 2.750 per orang. Tidak seperti kebanyakan gua, Gua Cerme memiliki pelataran yang sangat luas. Ada banyak jenis pohon tumbuh di sana termasuk satu pohon beringin. Ada pula sebuah masjid. Menurut cerita masyarakat sekitar, tata letak kawasan gua ini disusun oleh Sunan Kalija. Dari pelataran inilah kita bisa menikmati alam Yogyakarta dari ketinggian 300 m dari ketinggian laut.

Penasaran dengan isi gua, kami memutuskan untuk menyusurinya. Bagi para wisatawan, wajib hukumnya mengajak pemandu untuk masuk gua. Selain itu, demi kesalamatan pengelola gua menyediakan helm, senter dan menyarankan menggunakan alas kaki. Untuk jasa pemandu, dipatok tarif Rp. 30.000 sedangkan untuk sewa helm dan senter masing-masing Rp. 5.000. “Di sini ada 40 pemandu. Untuk seminggunya ada 12-14 orang. Digilir,” ujar Sartono, sambil memandu kami sembari memasuki mulut gua.

Gua Cerme termasuk gua horizontal karena terbentuk dari air bawah tanah. Pesona ornamen-ornamennya terbentuk dari tetesan air yang mengikis batuan oleh air yang berlangsung sampai ribuan tahun. Hasilnya sangat mencengangkan kami. Sembari memperhatikan langkah kami dalam genangan air supaya tidak teraktur batu kapur, kami tak absen mengagumi staklatit yang menggantung dan stalakmit yang membentuk gunungan.

“Coba lihat itu,” kata Sartono sambil menunjuk sebuah tiang. Yang dimaksudkannya adalah colloumn, yakni staklatit dan stalakmit yang telah menyatu, membentuk sebuah tiang dari atap gua sampai ke dasar gua. Selain itu ada elektit, yakni stalaktit yang bercabang. Beberapa ornamen tersebut ada yang diberi nama oleh masyarakat sekitar. Misalnya, batu Lumbung Padi, batu Bulus, batu Kaji, Kayangan, batu Gading, Pelenggungan atau Paseban, Kayangan, Grojokan Sewu, dan Kraton Panggung.

Lebih lanjut, soal langit-langit, tingginya sangat bervariasi. Ada kalanya menjulang tinggi ada kalanya kita mesti setengah merangkak. Perjalanan semakin menantang ketika masuk di bagian gua yang tingginya sekitar 160 cm. Padahal tinggi air sungai bawah tanahnya 125 cm. Karena stalaktit berujung tajam, mau tidak mau kami mesti merunduk guna mengamankan kepala. Suara “jeduk” pun kerap terdengar. Namun demikian ada saatnya, dada kami terasa begitu lega dan plong ketika sampai di air terjun. Anda bayangkan sendiri bagaimana indahnya di dalam gua yang gelap dan dingin bisa bermain air terjun yang deras.

Setelah menyusur gua sepanjang 1,2 Km kami mulai menangkap ada secercah cahaya dari atas. Entah datangnya dari mana, ada rasa kebahagiaan kami rasakan. Kalau boleh dibandingkan, seperti berhasil menyalakan lilin saat listrik mati, atau seperti senangnya ketika listrik hidup di malam hari. Rasa senang itulah yang berhasil membungkam rasa capai kami. Sukacita kami pun memberikan reaksi senyum tatkala melihat helm yang kami pakai penuh dengan goresan stalaktit.

Asal Kata Cerme

Seperti gua pada umumnya di Indonesia, Gua Cerme menjadi tempat kramat. 2 hari sebelum kami datang, ada seorang laki-laki dari Banten selesai bertapa di sana. Selain gua utama yang dinamakan Gua Slamet, ada 3 ceruk di dinding gua yang juga dijadikan tempat bertapa, yaitu Gua Badut, Gua Ledek, dan Gua Dalang. Gua Badut digunakan untuk bersemedi para komedian. Ledek untuk para seniwati. Dan Gua Dalang untuk para seniman dalang.

Dari mulut masyarakat sekitar, tertuturlah legenda asal mula Gua Cerme yang tidak jauh dari rencana pendirian Masjid Demak oleh Wali Songo. Sekitar awal abad ke-15, gua ini diyakini sebagai tempat Wali Songo mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di Jawa. Itulah mengapa kata “Cerme” dipakai karena berasal dari kata “ceramah”.

Ceramah tidak hanya menunjuk aktifitas dakwah para wali, tapi juga di tempat inilah dibicarakan rencana pendirian masjid besar di Demak, sebuah kota di bagian utara Jawa Tengah. Alhasil, diputuskanlah untuk mendirikan masjid di Glagah Wangi.

Hal menarik, tata letak Gua Cerme yang dipertahankan sampai sekarang, mencerminkan seni tata bangunan kota ala Sunan Kalijaga. Penyebar agama Islam ini selalu menggunakan 4 komponen: yaitu istana atau pegelaran kraton, alun-alun atau pelataran, 1-2 pohon beringin di alun-alun dan masjid. Konsep ini ternyata ditemui di kawasan Gua Cerme yang letaknya di atas perbukitan. Yakni ada pelataran di depan gua yang cukup lapang, sebuah pohon beringin yang berada di pelataran dan gua sendiri yang bisa diartikan sebagai keratonnya menghadap ke utara dan membelakangi gunung atau punggung bukit.

Dalam perkembangannya Gua Cerme sendiri dijadikan tempat penyelenggaraan upacara adat Perti Dusun. Kata “perti” (memayu, memetri, memerti) berarti mempercantik, memperindah, dan melestarikan. Upacara adat ini berangkat dari legenda sejak zaman Hindia Belanda yang mana konon Baginda Raja Harnaya Rendra dari Kerajaan Giringlaya, sedang sedih karena musibah yang menimpa rakyatnya. Gejolak alam yang maha dahsyat telah menimbulkan wabah penyakit, kekeringan, kelaparan di seluruh negeri. Tahun 387 Saka, atas nasehat punggawa, maka beliau meminta pertolongan pada Resi Hadidari dari Desa Ngandong Dadapan. Resi ini kemudian menyarankan agar seluruh penduduk desa membersihkan segala sesuatu dengan teliti pada awal tahun. Setelah itu, keadaan negeri menjadi membaik.

Berdasar legenda tersebut, masyarakat membuat upacara keagamaan yang disebut perti dusun, atau sedekah Bumi atau bersih dusun sebagai persembahan bagi penguasa pertama atau cikal bakal desa tersebut. Namun juga disebut-sebut berkaitan dengan Para Wali Sanga yang pertama kali memberi nama Goa Cerme. Maka juga bisa diartikan Perti Dusun sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat yang berprofesi petani atas kesejahteraaan yang telah diberikan oleh yang Kuasa dan penghormatan terhadap para pendahulunya yang telah berjasa dalam penyebaran syariah Islam.

Bagaimana Datang ke Sini?

Desa Selopamioro terletak 6 kilometer sebelah selatan ibukota Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Dari Kota Bantul, desa ini terletak di sebelah timur laut, kurang lebih 15 kilometer, dengan jarak tempuh kurang dari 40 menit. Sedangkan jarak dari Terminal Giwangan Yogyakarta hanya 21 kilometer.

Bagi Anda yang menggunakan kendaraan pribadi, dari Yogyakarta bisa melewati Jalan Pramuka. Dari sana terus ke Selatan masuk ke Jalan Imogiri Timur, melewati Ring Road Selatan. Setelah sampai wilayah Imogiri kita tinggal mengikuti papan petunjuk yang mengarahkan kita ke Gua Cerme. Kalau sudah melewati Jembatan Siluk berarti perjalanan kita tidak jauh lagi. Waktu tempuhnya kurang dari 60 menit.

Seandainya Anda memilih menggunakan kendaraan umum, itu sama mudahnya dengan naik kendaraan pribadi. Kita tinggal datang ke Terminal Giwangan, karena di sana sudah ada bus kecil Jurusan Imogiri-Siluk-Cerme. “Ada 15 bus tersedia. Biayanya Rp. 5.000 atau Rp. 6.000, nanti turun di bawah, tinggal jalan kaki sedikit. Tapi kalau nyarter bisa diantar sampai ke sini,” terang Sartono lagi.

Di sekitar Gua Cerme ada banyak tempat wisata. Tentunya amat sayang kalau kita datang ke Yogyakarta hanya sedikit tempat yang bisa kita nikmati. Maka ada baiknya memperhatikan tips ini. Datanglah ke Gua Cerme menjelang siang. Ketika lewat tengah hari, sebaiknya kita meninggalkan tempat ini menuju ke Pantai Parangtritis yang hanya berjarak 45 menit. Diharapkan jam 15.00 sudah sampai ke pantai sehingga tidak terlalu panas. Bermain dan berenang sambil menanti matahari terbenam.

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/01/27/cerme-menyusur-gua-menyelami-tradisi-dan-agama/

Tidak ada komentar: