Senin, 14 Maret 2011

TEAM PENGEMBANG KTSP TULUNGAGUNG, APA TUGASNYA?

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dibuat dan ditetapkan oleh kepala sekolah SD, SMP, SMA, SMK dan yang sederajat serta direkomendasi kepala Dinas Pendidikan berdasarkan Sisdiknas (UU No. 20/2003), Standar Pendidikan Nasional (PP 19/2005), Standar Isi Kurikulum (Permen 22/2006), Standar Kelulusan Siswa (Permen 23/2006) dan Pedoman Penyusunan KTSP (Permen 24/2006) umumnya mulai diberlakukan kepada siswa kelas awal tahun pelajaran 2007/2008 ini. Pembuatan, penetapan dan rekomendasi KTSP dilakukan setiap tahun sebelum tahun ajaran baru dimulai, sehingga sekolah perlu membuat jadual yang jelas untuk keperluan ini bahkan bagi semua pihak terkait yang salah satunya adalah tim pengembang KTSP. Tim pengembang KTSP umumnya telah ada di setiap sekolah bahkan di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat nasional.

Ada 4 macam tim sebagai subyek pengembang KTSP yaitu di sekolah dan di tingkat kabupaten Tulungagung, Prof Jatim dan Nasional perlu mengadakan sinkronisasi program agar kegiatan pengembangan KTSP berjalan efektif dan efisien, masing-masing tim punya sasaran yang jelas dan jelas pula ada pengembangannya sehingga terasa ada kontribusi bagi kesamaan konsep KTSP dan implementasinya serta dapat menjamin bagi peningkatan otonomi guru, mutu proses dan hasil pembelajaran siswa di sekolah. Mereka tim pengembang juga tahu dan sadar bahwa para siswa di sekolah setelah mendapat “hidangan” KTSP maka para siswa diharapkan tampil menjadi pribadi yang inovatif, kreatif, cerdas, kritis berani berdebat karena berwawasan global dan bertindak lokal yang sesuai kebutuhan siswa.
Salah satu sasaran pengembangan KTSP adalah membuat menu KTSP supaya sesuai dengan kebutuhan siswa dan guru otonom mengaplikasi di sekolah.
Tim pengembang KTSP Tulungagung baru saja mendatangi SMPN 2 Gondang Tulungagung hanya nonton, pegang, raba serta lihat performen KTSP di sekolah apakah telah mendapat pengesahan kepala Dinas Pendidikan Tulungagung atau belum, tanpa mendata aplikasinya di lapangan. Hal demikian dirasakan sekolah itu kurang bermakna.


Sementara itu sekolah mengharapkan kepada tim pengembang kurikulum Tulungagung untuk dapat:



1. Memenuhi SDM dan (pra)sarana yang memadai untuk menyelenggarakan pelajaran, mengubah kebiasaan lama yakni kebergantungan pada birokrat, memberi feedback siswa dalam setiap pembelajaran.

2. Memilih muatan lokal, yakni lokal provinsi, lokal kabupaten, dan lokal sekolah terrasa adanya keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

3. Memfasilitasi sekolah agar dapat bermitra dengan berbagai pemangku peran (stakeholders) pendidikan, seperti industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, dan organisasi atau profesi lainnya.

4. Memfasisilitasi sekolah agar dapat tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni karena tanpa antisipasi cerdas terhadap ini, kurikulum menjadi lunglai mengahadapi teknologi yang serba canggih ini.

5. Memberdayakan para guru agar terhindar dari anggapan bahwa guru, sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu dengan kulturnya.

6. Mengetrapkan pembelajaran konstruktivitis yang menawarkan solusi untuk belajar secara 'berani' dan mengembangkan KTSP disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil tidak terjebak oleh hal-hal kecil, keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus, pemahaman guru akan standar kompetensi, kompetensi dasar dan standar isi adalah pangkal tolak pengembangan selanjutnya.

7. Melaksanakan kegiatan kurikuler yang mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk dibermaknakan, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional, tidak mesya­ratkan adanya buku teks baru., bukunya yang ada saja.

8. Memberdayakan siswa supaya diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri, keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar, berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai 'botol kosong' untuk diisi informasi oleh guru.

9. Mereward guru yang mengajar secara interaktif, menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa, berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik menyebarkan informasi kepada siswa tetapi informasi itu belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable).

10. Mendorong guru agar mencari tahu sudut pandang belajar siswa, memahami kadar pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran berikutnya, berbeda dari kelas tradisional, guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Guru mengetahui sudut pandang belajar siswa.
11. Membelajarkan siswa dalam kelompok, berbeda dari kelas-kelas tradisional di mana siswa belajar secara mandiri, justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism.

12. Menerapkan penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan pembelajaran dan penilaian.
13. Mengantisipasi penerapan KTSP berbanding terbalik dengan kemampuan satuan pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kurikulum produk sendiri karena dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien. 14. Mewujudkan kesamaan pemahaman konsep dan langkah dalam mengaplikasi KTSP karena kesiapan guru yang tidak merata bisa menjadi musibah nasional pendidikan, dikaitkan dengan konteks global yang memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pembelajaran, guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan siswa karena siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah on-line learning. 15. Mengakomodasi keterpaduan informasi lokal, nasional, dan internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber daya yang memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan secara instan melalui berbagai proyek kurikulum sesaat. 16. Menangkal sekolah menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil kreativitas. 17. Mengupayakan UN tidak menjadi persyaratan kelulusan siswa, namun jika masih diperlukan UN supaya diselenggarakan oleh lembaga pengujian pendidikan bersifat mandiri, independen, profesional, dan inheren di luar pemerintah, punya examination authority mulai menyusun soal, menjadwal, menggandakan dan mendistribusikan naskah soal, mengawasi, menskor hasil, sampai mengumumkan hasil UN.18. Menghilangkan substansi pelajaran yang berulang-ulang; bahasan yang tak esensial yang sekadar "kosmetik" tetapi mengembangkan ketuntasan belajar; menyediakan materi terapan yang dapat digunakan siswa untuk meningkatkan mutu kehidupannya; membiasakan pola berbudi pekerti luhur, disiplin, tertib, menerapkan hak asasi manusia, kewajiban serta kepedulian sosial; menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah.
19. Menggalakkan dan memasukkan MGMP sekolah ke dalam APBD Tulungagung sehingga dapat berelaborasi dengan Pemkab Tulungagung dapat menghasilkan silabus dan pembelajaran siswa yang cocok dengan kondisi siswa dan kepentingan daerah terakses dalam kegiatan sekolah.
20. Mengurangi dan menghapus bahasa kedinasan yang serba harus, tanpa diperhitungkan profesionalitasnya. Hal ini bisa berdampak negatif dan menjadikan guru sekadar robot dalam pelaksanaan kurikulum, sekadar menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.21. Menekan para penatar dalam sosialisasi yang sering mengatakan seharusnya begini atau seharusnya begitu, tapi setelah dikonfrontasikan dengan pelaksanaan di lapangan terbukti ada kesenjangan asumsi pengembang kurikulum pusat, provinsi maupun kabupaten dengan situasi riil para pelaksana, upayakan saja para guru mengembangkan sikap "kekinian" terhadap kurikulum, baik mengenai pemikiran pedagogis maupun perkembangan global di sekitar siswa, hal ini mendesak untuk segera disampaikan kepada para kepala sekolah dan guru di lapangan agar terus-menerus berani mencoba dan kreatif dalam mengimplementasikan KTSP di sekolahnya masing-masing. Amin. (Ajisaka)
http://ajisaka.sosblog.com/Ajis-b1/TEAM-PENGEMBANG-KTSP-TULUNGAGUNG-APA-TUGASNYA-b1-p25.htm

Tidak ada komentar: