Jumat, 18 Februari 2011

Erupsi Merapi dan Kearifan Lokal

MERAPI itu gunung yang sangat atraktif dan unik. Ia suka membuat keheranan, kejutan, sekaligus juga penasaran. Dalam sejarahnya, Merapi mengalami evolusi vulkanik. Tipe letusannya berubah-ubah. Eksistensi Merapi diawali oleh magma yang relatif encer dan bersifat basa. Ketika itu tipe erupsinya efusif, tidak eksplosif (meledak). Kemudian magma berangsur- angsur mengental, lebih asam, mobilitas menurun, dan sifat erupsi berselang-seling antara efusif dan eksplosif.

Belakangan magma Merapi menjadi kental, tekanan gas rendah, dan pergerakannya sangat lamban. Karena kentalnya, ketika mencapai permukaan, magma akan mengonggok di sekitar mulut kawah membentuk kubah lava. Gundukan lava sewaktu-waktu dapat ambrol longsor oleh desakan magma dan tekanan gas dari perut Merapi. Guguran itu menghasilkan aliran piroklastik yang dikenal sebagai awan panas, atau wedhus gembel. Inilah yang disebut Tipe Merapi.

Karena itu, masyarakat di sekitar Merapi terancam jatuhan piroklastik, semburan awan panas, hujan abu dan debu, serta bahaya sekunder berupa lahar hujan. Ancaman yang paling ditakuti tentu saja adalah aliran piroklastik.

Awan panas Merapi pada dasarnya bak badai yang terdiri dari gumpalan batu-batuan bercampur kerikil, pasir, abu, debu, asap, dan gas pijar serta sangat panas (temperatur 300-500 derajat celcius), meluncur dan menyebar dengan kecepatan mencapai 60 meter per detik atau sekitar 200 kilometer per jam. Jangkauannya dapat mencapai 5-12 kilometer dari kawah.

Ancaman Merapi lain yang acap kali menelan korban adalah lahar, yaitu aliran lumpur pasir bercampur batu yang berasal dari timbunan vulkanik di lereng. Ketika digelontor hujan, timbunan longsor dan mengalir menuju saluran-saluran sungai. Lahar mampu bergerak dengan kecepatan 60 km per jam. Karena sifat arusnya pekat dan berat jenisnya besar, di dalam lahar dapat terangkut batu-batu sebesar gajah dengan daya erosi yang sangat besar pula.

Sejarah letusan

Sudah tidak terhitung berapa kali Merapi meletus, baik besar maupun kecil. Pada tahun 1672, Merapi meletus dengan awan panas dan banjir lahar yang menewaskan 300 orang. Diduga tipe letusan ketika itu adalah Plinian. Tahun 1930/1931 Merapi meletus dengan tipe Plinian lagi, menghasilkan aliran lava, piroklastik, dan lahar, dengan korban meninggal 1.369 orang.

Tahun 1954, erupsi Merapi menghasilkan awan panas, hujan abu, dan lapili, korban meninggal 64 orang. Pada tahun 1961, terjadi aliran lava, awan panas, hujan abu, dan banjir lahar, enam orang meninggal. Tahun 1969, letusan cukup besar menghasilkan awan panas, guguran kubah lava, hujan abu dan batu, korban meninggal 3 orang.

Letusan tahun 1972-1973 termasuk tipe volkanian, menghasilkan semburan asap hitam setinggi 3 km, hujan pasir dan kerikil, awan pijar guguran ke Kali Batang sejauh 3 km. Tahun 1994, erupsi klimaks Merapi mengarah ke Kali Boyong, menelan 67 korban manusia.

Tahun 1997/1998 Merapi giat lagi dengan erupsi tipe Merapi ke arah selatan dan barat daya, tanpa korban jiwa. Memasuki abad ke-21, Merapi aktif berturut-turut pada tahun 2001, 2006, dan 2010. Erupsi 2001 tanpa korban jiwa, 2006 dua relawan meninggal di dalam bungker, dan korban tahun 2010 mencapai 35 orang meninggal karena awan panas dan abu vulkanik.

Upaya memantau gerakan, geliat, dan desah napas Merapi sudah dilakukan dengan baik. Saking banyak dan lengkapnya alat perekam Merapi, mengesankan gunung yang satu ini amat dimanja para peneliti. Tentu saja ini bukan tanpa alasan. Ini karena zona bahaya gunung aktif ini ditinggali oleh banyak sekali penghuni.

Sebenarnya tindakan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan pemerintah menghadapi aktivitas Merapi 2010 sudah tepat dan sosialisasi oleh media publik juga sudah memadai. Namun, nyatanya erupsi Merapi masih menelan korban juga. Mungkinkah karena jumlah penduduk di daerah bahaya semakin banyak? Ataukah sosialisasi tidak mengenai sasaran? Atau sebagian masyarakat memang cuek?

Kearifan lokal

Masyarakat sering mengandalkan kearifan lokal untuk menengarai aktivitas Merapi. Pada era milenium dengan kondisi lingkungan yang sangat berubah, masih validkah kearifan lokal diterapkan?

Dahulu perilaku satwa menjadi penanda akan terjadinya erupsi Merapi. Konon ketika suhu Merapi meningkat, kawanan burung akan menuruni lereng, selanjutnya diikuti oleh monyet, harimau, dan landak. Ketika landak turun, biasanya sebentar kemudian gunung meletus.

Kali ini Merapi berubah terlalu cepat. Status Waspada baru dua minggu sudah disusul Siaga. Siaga belum seminggu sudah menjadi Awas. Saat status Awas baru satu setengah hari, Merapi meletus. Padahal, kabarnya masyarakat baru menengarai turunnya monyet, belum ada macan, kok Merapi sudah meletus. Jangan-jangan memang sudah tidak ada macan di lereng Merapi.

Sebaiknya memang kearifan lokal pun dievaluasi dan kalau perlu direvisi. Memadukan antara ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, serta mohon petunjuk kepada Sang Pencipta Alam adalah tindakan terbaik.

Mudah-mudahan letusan 26 Oktober hanya cara Merapi untuk membuka jalan bagi keluarnya magma yang tersumbat. Begitu magma keluar dengan lancar, erupsi pun akan kembali ke tipe Merapi yang ”cantik” itu.

Prof Dr Ir Sari Bahagiarti Kusumayudha MSc Geolog, Pemerhati Merapi dari UPN Veteran ,Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Oktober 2010
http://cabiklunik.blogspot.com/2010/10/erupsi-merapi-dan-kearifan-lokal.html

Tidak ada komentar: