Jumat, 18 Februari 2011

Mengenal Tuhan dari Jendela Geologi dan Bencana Alam

Posted by wahyuancol pada Januari8, 2011

Mengenal Tuhan dari ciptaan-Nya ternyata bukanlah hal yang mudah. Menyusul tsunami tanggal 26 Desember 2004 melanda sebagian besar kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam dan meluluh-lantakkan kota-kota pesisir seperti Banda Aceh, Meulaboh dan Calang, muncul di banyak surat kabar berbagai pendapat tentang penafsiran alasan terjadinya bencana alam. Ada yang mengatakan tsunami itu hukuman Tuhan, ada yang mengakatan tsunami itu peringatan Tuhan, ada yang mengakatakan bahwa tsunami itu bencana alam atau peristiwa alam biasa. Semua pendapat dengan alasannya masing-masing. Di sela-sela hiruk pikuk upaya penyelamatan dan sehabilitasi yang dilakukan, ada orang-orang yang melakukan penelitian sehingga menghasilkan berbagai karya ilmiah yang dipublikasikan secara internasional.

Gelombang tsunami yang menyapu kawasan pesisir tersebut menewaskan lebih dari seratus ribu orang. Dengan tidak pandang bulu, tua – muda, lelaki – perempuan, bayi – orang tua, kaya – miskin, rakyat jelata – pemimpin, penjahat – penegak hukum, pemuka agama dan apapun agama dan kepercayaan mereka tewas terlanda gelombang tsunami itu. Dalam kondisi seperti itu sebersit rasa menuntut keadilan mungkin muncul dalam diri kita dengan pikiran mengapa Tuhan menyamaratakan semuanya? Tidak semua korban bencana itu adalah orang yang berdosa, atau tidak semua orang yang dihukum itu adalah orang yang berdosa.

Melihat hubungan antara Tuhan dan Bencana Alam yang menimpa manusia itu sering tidak mudah bagi sebagian orang. Kekeliruan dalam berpikir tentang proses alam tidak jarang membuat orang jatuh dalam pikiran bahwa Hukum Alam berbeda dari Hukum Tuhan, atau Mengapa Tuhan membiarkan hal yang buruk bagi manusia terjadi?, atau Tuhan tidak memiliki peran apapun terhadap peristiwa di alam ini.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, berikut ini saya sajikan tulisan yang menarik dari seorang teman tentang hubungan Tuhan dan Bencana Alam di bawah judul Teologi Kebencanaan.

—————————-

Teologi Kebencanaan

(Jum’at 24 Desember 2010, iagi-net-I)

Hari Sabtu minggu yang lalu, saya hadir di sebuah gereja di wilayah Cibubur dalam sebuah diskusi panel berjudul “Bencana Alam: fenomena alam atau hukuman Tuhan?”. Diskusi dihadiri oleh lima orang pendeta, beberapa orang relawan dan penggiat LSM bencana, dan sekitar 30 orang warga gereja setempat.

Diskusi ini diadakan dalam rangka pembahasan “Teologi Kebencanaan” oleh PGI (persekutuan gereja-gereja di Indonesia) sebagai upaya menjawab pertanyaan di masyarakat yang senantiasa merasa atau bertanya apakah bencana merupakan hukuman Tuhan.

Setelah kebaktian singkat yang dipimpin oleh seorang pendeta, saya diminta mempresentasikan materi yang telah saya siapkan, berjudul sama dengan tema diskusi panel, “Bencana Alam: fenomena alam atau hukuman Tuhan?”. Materi yang saya bawakan terbagi menjadi tiga bagian: hakikat bencana, geologi dan bencana alam di Indonesia, bencana alam: fenomena alam atau hukuman Tuhan? Bencana yang dibahas terutama yang berhubungan dengan proses-proses geologi yang sering terjadi di Indonesia, yaitu gempa, tsunami, erupsi gunungapi. Para pendeta dan peserta diskusi panel, hari itu belajar tentang planet Bumi, tektonik lempeng, mekanisme gempa-tsunami-erupsi gunungapi.

Setelah melakukan presentasi sekitar 1,5 jam menayangkan 65 slides, dimulailah sesi tanya jawab menyangkut geologi, filosofi dan teologi kebencanaan. Saya ingin ceritakan beberapa tanya jawab menyangkut hakikat kebencanaan dari segi filosofi dan teologi. Beberapa di antaranya adalah seperti di bawah ini.

(1) Pertanyaan mendasar pertama datang dari seorang pendeta, apakah itu hukum alam, apakah itu hukum TUHAN, kapan TUHAN menggunakan hukum alam untuk menyatakan maksudnya, apakah TUHAN hanya “menumpang” hukum alam untuk menyatakan maksudNya, apakah alam itu beritme?

Saya menjawab, sejak zaman Galileo, ilmu tentang alam semesta didasarkan pada ketiga postulat: (1) adanya hukum-hukum universal yang bersifat matematik, (2) penemuan hukum-hukum yang terjadi melalui eksperimentasi ilmiah, (3) data-data eksperimen yang bisa diulang-ulangi dengan hasil yang sama, sehingga setiap fenomena alam punya tingkat prediktibilitas – itulah hukum alam. Tuhan telah memberikan kepada manusia sebuah dunia yang tertib (Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta, kata Einstein), atau alam semesta yang bernalar kata Paul Davies-ahli fisika penulis buku-buku sains, yang menjadikan dunia ini nyaman dihuni (misalnya ada jaminan bahwa matahari tidak tiba-tiba menghilang).

Dunia yang dapat dihuni ini adalah fakta bahwa hukum-hukum alam bisa diandalkan, dan selalu bekerja dengan cara yang sama. Proses-proses geologi pun tidak terjadi sembarangan, mereka mengikuti aturan-aturan, hukum-hukum, yang diketahui berdasarkan penyelidikan dan penelitian sekian lama, dan setiap proses itu punya nilai prediktibilitas baik ke masa lalu (key to the past) maupun ke masa depan (key to the future). Proses-proses geologi adalah hukum alam. Sebab bagi orang percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta, maka hukum-hukum alam yang mengatur jalannya alam semesta adalah juga hukum-hukum Tuhan. Tuhan menggunakan hukum alam yang diciptakanNya sesuai kehendakNya, dan Dia tidak pernah “menumpang” kepada hukum alam, sebab hukum alam adalah hukum Tuhan, milikNya sendiri. Alam memang beritme, bersiklus, yang terjadi sepanjang sejarah Bumi, sepanjang zaman-zaman geologi.

(2) Seorang pendeta berpendapat bahwa proses-proses geologi hanyalah mengikuti hukum kekekalan massa, kekekalan energi dan kesetimbangan, dan bahwa sesungguhnya tak adalah yang namanya bencana itu secara proses geologi. Bencana, menurutnya hanyalah pandangan antroposentrisme, bukan pandangan geologi.

Saya membenarkannya. Betul, seperti kata Gordon Oakeshott (1972 dalam sebuah buku ‘Man and His Physical Envionment’), “There are no a geologic hazards without people. Geologic hazards are merely normal geologic processes or events until man gets in the way; then the processes or events become hazards”. Saya menambahkan bahwa yang terasa sebagai “bencana” itu hanyalah relatif untuk segolongan korban pada saat itu. Pada periode lain, proses geologi yang menjadi “bencana” itu ternyata membawa berkat juga. Hujan pasir dan abu volkanik serta terjangan awan panas menjadi bencana buat segolongan orang pada suatu masa. Pada masa lain semua pasir dan abu volkanik hasil letusan itu kemudian bisa menjadi sumber nafkah segolongan orang pada masa berikutnya yang melakukan penambangan pasir. Benturan meteorit di Afrika Selatan tentu menjadi bencana katastrofik pada suatu masa ketika ia jatuh, tetapi pada masa lain ternyata sebuah teori mengatakan bahwa meteorit itu bisa menjadi tambang intan. Maka bencana itu relatif, proses geologi hanyalah proses geologi, ia menjadi bencana saat bersentuhan dengan manusia, dan ketika kita memandangnya secara antroposentris.

(3) Seorang peserta diskusi menanyakan sebuah pertanyaan, mengapa Tuhan yang baik membiarkan bencana yang buruk terjadi. Apakah doa-doa, akan membebaskan Indonesia dari bencana ?

Saya menjawab, pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan terkenal yang biasa muncul di buku-buku ateisme. Silogisme ateis menyebutkan: kalau Tuhan mahabaik, Ia akan hancurkan kejahatan. Kalau Tuhan mahakuasa, Ia dapat menghancurkan kejahatan. Tetapi kita melihat kejahatan ada terus dan mungkin semakin jahat, maka kalau begitu tak ada Tuhan sebab kejahatan meraja lela. “Si Deus est, unde malum?” – Kalau Tuhan ada, mengapa ada kejahatan? David Hume, filsuf dari abad ke-18 menulis, ” Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan tetapi tidak sanggup? Maka itu berarti Dia tidak berkuasa. ‘Problem of evil’ (termasuk ‘kejahatan’ alam dalam rupa bencana) sesungguhnya telah menjadi argumen klasik sejak zaman Epikurus (341-270 SM) yang menanyakan keadilan dan kasih sayang Tuhan di mana ketika kejahatan meraja lela. Akhirnya ini mengarah ke keberadaan Tuhan sendiri. Tulis Epikurus, “Tuhan ingin menyingkirkan kejahatan, tetapi Ia tak mampu, atau Ia mampu, tetapi tidak mau, atau Dia tak mau dan tak mampu. Kalau Tuhan mau tetapi tak mampu, maka Ia Tuhan yang lemah. Kalau Tuhan tak mau dan juga tak mampu, maka Ia Tuhan yang dengki dan lemah, jadi bukanlah Tuhan.

Bagi seorang ateis, begitu banyaknya kejahatan dan penderitaan manusia telah menjadi argumen tangguh untuk ateisme. Adanya kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama keragu-raguan iman dan pemberontakan melawan Allah. Thomas Aquinas merumuskan pandangan ateisme itu, “Seandainya Allah ada, tidak akan ada satu tempat pun di mana kejahatan ditemukan. Padahal kejahatan ditemukan di dunia. Maka Allah tidak ada”.

Bagi orang yang beragama, Tuhan berada di balik setiap peristiwa. Tak ada peristiwa akan terjadi tanpa kehendakNya. Louis Leahy dan Budhy Munawar-Rachman (STF Driyarkara) menulis bahwa pendapat seperti itu akan mengarah kepada Tuhan yang sewenang-wenang. Mengapa sekumpulan orang yang tak bersalah mati karena bencana, sementara sekumpulan orang lain tidak. Jadi, Tuhan tidak selalu ada di balik setiap peristiwa. Mereka menulis bahwa sebenarnya dalam setiap kejadian belum tentu kita dapat menemukan pesan sebab memang tak ada pesan apa-apa. Tidak ada alasan mengapa sekumpulan orang ini kena musibah, sementara yang lain tidak. Peristiwa-peristiwa bencana tidak mencerminkan pilihan Tuhan, itu peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja. Segala bentuk bencana bukanlah kehendak Tuhan, demikian Leahy dan Munawar-Rachman berpendapat dalam artikel “Tuhan dan Masalah Penderitaan” (Kanisius, 2008).

Tetapi, berbeda dari pandangan Leahy dan Munawar-Rachman (2008), ada beberapa bencana yang memang dikehendaki Tuhan, dan Tuhan berada di balik peristiwa itu, yaitu pembinasaan Sodom dan Gomora yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci (Alkitab, Kejadian 19: 15, 24 – Al Qur-an, Surat Huud : 76, 82) yang dalam penafsiran saya disebabkan oleh gempa katastrofik dan letusan gunung garam yang mengandung aspal, minyak, ter dan belerang serta kedua kota mengalami likuifaksi ke bawah Laut Mati (lihat abstrak makalah tentang ini di bawah). Terhadap hal-hal ini, ada pelajaran bahwa semua bencana adalah fenomena alam, tetapi sebagian bencana bisa merupakan sarana penghukuman Tuhan.

Tuhan telah memberikan kepada manusia sebuah dunia yang tertib, yang menjadikan dunia ini nyaman dihuni. Dunia yang dapat dihuni ini adalah fakta bahwa hukum-hukum alam bisa diandalkan, dan selalu bekerja dengan cara yang sama. Tetapi ada juga yang perlu disadari dari fakta hukum alam ini adalah, bahwa hukum alam bukan hanya memberi kesan keteraturan saja, tetapi juga dari hukum yang sama, bisa terjadi bencana bagi manusia. Hukum alam berupa gravitasi misalnya, membuat kita hidup, tetapi hukum alam yang sama bisa menyebabkan jembatan atau gedung runtuh. Kita tidak bisa hidup tanpa hukum-hukum alam, tetapi hidup dengan hukum alam berarti kita juga dikelilingi begitu banyak bahaya yang menyebabkan penderitaan.

Kesimpulannya, hukum alam netral, ia bisa terasa baik atau jahat. Hukum alam tidak bersifat baik atau jahat, ia hanya tak peduli, berlaku sama bagi semua orang. Hukum alam tidak mengenal perkecualian, ia tidak membedakan suku bangsa, agama, golongan, bisa melanda siapa pun, orang jahat atau baik.

Indonesia, selama ia duduk di atas lempeng-lempeng yang saling bertubrukan, di area tepi-tepi tubrukan atau papasan lempeng itulah selalu akan ada proses-proses gempa, tsunami dan erupsi gunungapi yang bisa jadi bencana kala bersentuhan dengan manusia. Doa-doa barangkali tak akan membebaskan Indonesia dari bencana itu sebab itu hukum alam, hukum Tuhan. Tetapi doa barangkali bisa membuat manusia diberikan akal budi untuk menghindari bencana atau berkawan hidup di tengah bencana.

Demikian sedikit ulasan.

Beberapa kesimpulan saya terkait hal ini:

1. Karena kondisi geologinya yang merupakan wilayah pertemuan antara tiga lempeng besar, Indonesia adalah wilayah yang paling rawan gempa-tsunami-erupsi gunungapi di dunia.

2. Secara geologi, gempa-tsunami-erupsi gunungapi adalah proses alam biasa karena kesetimbangan gaya dan kekekalan energi.

3. Bencana alam gempa-tsunami-erupsi gunungapi adalah fenomena alam, yang dapat digunakan Tuhan untuk menyatakan kuasaNya atau melakukan penghukuman.

4. Bencana-bencana alam di Indonesia hanyalah proses geologi biasa, fenomena alam, yang bisa menjadi bencana kala bersentuhan dengan manusia, apakah itu hukuman Tuhan, susah menjawabnya tetapi dari sejarah, bukan suatu kemustahilan kalau Tuhan mau menggunakan proses-proses geologi untuk menyampaikan maksudnya.

Salam,
http://wahyuancol.wordpress.com/page/2/

Tidak ada komentar: